TUJUH HARI TAKLUKAN TANTANGAN MENULIS BUKU NONFIKSI
RESUME KEDUAPULUH SATU:
Oleh Ati Rohaeti
P |
elatihan belajar menulis keduapuluh satu ini dilaksanakan
Jumat (19/2) dengan Ibu Musiin, M.Pd., sebagai narasumber dan dipandu Ibu Sri
Sugiastuti sebagai moderator. Tema pelatihan kali ini yakni “Menaklukan
Tantangan Menulis Buku Nonfiksi 7 Hari”. Sebelum moderator memandu pelatihan
dan diskusi malam tersebut, Om Jay sebagai pelaksana membuka pelatihan belajar
menulis ini dengan salam dan sapa. Ia bahkan menyegarkan kembali ingatan
peserta tentang program menulis dan berbicara PGRI pada malam sebelumnya. Setelah
itu, barulah moderator mengambil alih jalannya diskusi.
Pertama,
ia memperkenalkan narasumber. Ibu Musiin atau lebih dikenal dengan Ibu Iin
merupakan alumni belajar menulis asuhan Om Jay. Beliau aktif dalam menulis buku
nonfiksi dan karyanya berhasil diterbitkan oleh penerbit mayor. Bahkan buku
terbitan tersebut dipajang pada rak-rak buku toko sekelas Gramedia. Sebuah
kebanggaan tersendiri sebagai peserta pelatihan yang sama dapat memiliki alumni
yang sukses.
Kedua,
moderator mempersilakan narasumber untuk menyapa dan menceritakan perjalanan
karirnya dalam bidang tulis-menulis. Bu Iin mengatakan bahwa dirinya seorang
alumni kelas menulis Om Jay Gelombang Ke-8 yang juga mendapat kesempatan dan
tantangan menulis Prof. Eko. Beliau menjelaskan bahwa ia dan delapan orang
lainnya berhasil menaklukkan tantangan menulis dan buku mereka telah berhasil
dipajang di toko Gramedia secara daring dan luring. Buku tersebut berjudul
“Literasi Digital Nusantara Meningkatkan Daya Saing Generasi”. Berkat Prof. Eko
dan wadah pembelajaran inilah Ibu Iin dapat memproduksi karya yang bermanfaat
bagi sesama.
BELIAU
kemudian melanjutkan kisahnya dengan
menceritakan sosok bernama Prof. Eko yang pernah menjadi pemateri dalam
tantangan menulis nonfiksi. Baginya Prof. Eko ibaratkan seorang Master Chef
dengan keahlian menggunakan ragam bahan dapur untuk dijadikan berbagai santapan
yang lezat. Bahan masakan ini adalah pilihan yang ada pada diri setiap
masing-masing di antara kita. Sementara santapan lezat adalah hasil dari proses
memilih kita. Jika Ibu Iin ditanya dari mana ilham dan ide tersebut datang,
datangnya dari pilihan-pilihan yang disediakan oleh Prof. Eko untuk kita.
Bahkan biarpun beliau bertitel guru besar tidak menyurutkan kreativitasnya
dalam membuat beragam konten edukasi seperti pada Prof EKOJI Channel miliknya.
Pilihan dalam diri kita diolah menjadi sebuah
tulisan. Tulisan yang menampilkan pengetahuan, pengalaman, kegemaran, cerita,
atau kisah-kasih. Semua itu adalah buku yang belum sempat dikeluarkan. Cara
mengeluarkan pilihan tersebut ialah dengan menulis dan menantang diri kita
untuk menyelesaikannya dalam waktu singkat, seperti tema malam ini.
Sebelum merancang sebuah tulisan, kita harus
menemukan alasan kuat berkeinginan menjadi seorang penulis. Alasan kuat itu
saya gambarkan dalam tiga hal: (1) Saya ingin dapat mewariskan ilmu lewat buku
atau tulisan lainnya, (2) Saya ingin memiliki karya yang terpajang pada etalase
toko buku daring dan luring sekelas Gramedia, dan (3) Saya ingin profesi saya
sebagai guru berkembang. Dengan tiga alasan tersebut cukup untuk menunjukkan
tekad saya dalam menulis.
PEMATERI selanjutnya
masuk pada bagian utama tentang karya tulis nonfiksi. Ia menyebutkan bahwa
karya tulis nonfiksi dituliskan dalam tiga pola yang berbeda. Tiga pola
tersebut antara lain:
1. Pola Hierarkis, buku
disusun berdasarkan tahapan mudah ke sulit atau sederhana ke rumit. Salah satubuku nonfiksi dengan pola ini adalah buku pelajaran.
2. Pola Prosedural, buku yang
disusun berdasarkan urutan proses. Salah satu contohnya adalah bukupanduan
atau resep.
3. Pola Klaster, pola ini
disusun secara poin per poin atau butir per butir. Pola ini diterapkan pada
bukubuku kumpulan bab, bagian, antarbab, atau subbab. Salah satu buku dengan
pola bab antara lain buku penelitian atau esai ilmiah.
Berdasarkan ketiga pola tersebut, karya Ibu
Iin merupakan karya yang berpola klaster. Bukunya yang berjudul Literasi
Digital Nusantara ini terbagi atas beberapa bab dan subbab. Pembagian ini
memudahkan penjelasan butir ke butir dengan jelas dan mendetail. Sementara
peserta memahami ketiga pola tersebut, Ibu Iin kemudian mulai membahas lima
langkah proses penulisan buku yang terdiri atas tahap pratulis, tahap menulis
draf, tahap merevisi draf, tahap menyunting naskah, dan menerbitkan. Dari
kelima langkah tersebut, empat langkah dilakukan secara perorangan. Sementara
menerbitkan bukanlah bagian dari proses menulis, ini lebih cocok dikatakan
sebagai bagian produksi di luar kepenulisan. Berikut penjelasan keempat langkah
tersebut.
1. Pratulis, ialah kegiatan sebelum menuliskan sesuatu. Langkah ini merupakan langkah dasar seseorang menjabarkan maksudnya ke dalam sebuah karya tulis. Biasanya dalam langkah pratulis ada kegiatan semisal: menentukan tema, ide, merencanakan jenis tulisan, mengumpulkan bahan tulisan, bertukar pikiran, menyusun daftar, melakukan penelitian, membuat peta pikiran, hingga menyusun kerangka tulis.
Tema dapat ditemukan pada buku. Ada tema buku tentang pendidikan, teknologi, ekonomi, hingga parenting. Tema dalam buku Ibu Iin misalnya, ia mengangkat tema tentang edukasi atau pendidikan.
Ide buku haruslah menarik, baru, dan orisinil. Penulis dapat menemukan ide melalui pengalaman pribadi, orang lain, berita di media massa, status pada media sosial, imajinasi, pengamatan lingkungan, perenungan, dan membaca buku atau apresiasi karya lain. Ide yang didapat Ibu Iin berasal dari pengamatan lingkungan, berita media massa, hingga diperkuat oleh materi Prof. Eko yang berjudul Digital Mindset: The Key to Transform your Organization. Materi tersebut tayang pada saluran Youtubenya pada tanggal 20 Maret 2020.
Referensi atau sumber acuan dapat berupa data atau fakta. Dalam kasus Bu Iin, ia mendapatkan ragam referensi lewat internet, antara lain pengetahuan dan keterampilan formal, nonformal, dan informal, pengalaman sejak balita, penemuan, dan pemikiran hasil perenungan.
Kerangka tulis yang digunakan Bu Iin dalam menciptakan karyanya terdiri atas empat lima dengan ruang lingkup utama literasi digital. Pada bab I, Ibu Iin menuliskan tentang penggunaan internet di Indonesia. Bab II, media sosial. Bab III, hakikat literasi digital. Bab IV, ekosistem literasi digital di nusantara. Bab terakhir yakni bab V menjabarkan literasi digital untuk membangun digital mindset warga internet +62. Berikut contoh penulisan bab dan subbab buku nonfiksi.
Kutipan:
BAB I PENGGUNAAN INTERNET DI INDONESIA
A. Pembagian Generasi Pengguna Internet
B. Karakteristik Generasi dalam Berinternet
(Musiin, Literasi Digital Nusantara)
Sementara kerangka lain yang melibatkan keseluruhan buku disebut anatomi buku. Berikut anatomi buku nonfiksi pada umumnya:
1)
Halaman Judul
2)
Halaman Persembahan
(Opsional)
3)
Halaman Daftar Isi
4)
Halaman Kata Pengantar
(Opsional, minta kepada tokoh yang berpengaruh)
5)
Halaman Prakata
6)
Halaman Ucapan Terima Kasih
(Opsional)
7)
Bagian /Bab
8)
Halaman Lampiran (Opsional)
9)
Halaman Glosarium
10) Halaman
Daftar Pustaka
11) Halaman
Indeks
12) Halaman
Tentang Penulis
2. Penulisan draf, rancangan atau konsep yang telah selesai wajib dituliskan. Langkah kedua ini memiliki prinsip bebas di mana konsep yang dituliskan tidak mementingkan kesempurnaan. Akan tetapi, penulisan draf ini lebih pada bagaimana ide dituliskan.
3. Revisi draf, ini melibatkan estetika tulis suatu karya. Apabila di langkah kedua tidak mementingkan kesempurnaan, maka pada tahap ketiga ini baik sistematika maupun struktur tulisan dan penyajian wajib direvisi agar memberikan gambaran besar dari naskah secara jelas.
4.Penyuntingan, beda halnya dengan revisi draf yang berkisar pada perbaikan ide tulisan, penyuntingan lebih difokuskan pada penggunaan bahasa pada karya tersebut. Baik ejaan, tata bahasa, diksi, data-fakta, maupun legalitas dan norma.
Kadang kala tips lebih mudah dibaca dibanding
dilakukan. Ini berlaku bagi saya dalam pertemuan kali ini, sebab masih saja ada
hambatan yang seringkali muncul tidak terduga. Hambatan-hambatan menulis ini
dapat disebabkan karena waktu, daya kreativitas kita, teknis, tujuan, dan
psikologis. Jika melihat dampaknya, hambatan psikologis adalah hambatan paling
berat. Penulis seringkali terhambat urusan waktu pengumpulan karya. Selain itu,
hambatan psikologis yang sering kali terjadi adalah rasa rendah diri terhadap
karya sendiri. Hal tersebut dapat dijadikan peluang, tentunya dengan cara-cara
yang mengurangi stres kerja. Misalnya membaca buku, mencari inspirasi di
lingkungan sekitar atau lewat narasumber, disiplin menulis setiap hari, dan
pergi melakukan hobi untuk meningkatkan mood
kita.
Demikian materi cara menaklukkan tantangan
menulis nonfiksi selama tujuh hari yang Ibu Iin berikan. Semoga saya dan
rekan-rekan saya memiliki kesempatan dan masa keemasan seperti beliau berkat
karyanya. Tidak ada kesempatan untuk mundur saat ini, melangkah maju dan
melampauinya!
Salam Literasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar