Selasa, 23 Februari 2021

 

TEBAR SEMANGAT MENULIS

LEWAT GERAKAN LITERASI SEKOLAH (GLS)

RESUME KELIMA:

Oleh Ati Rohaeti



 “Buku ibaratkan menjadi setawar dan sedingin. Artinya buku sebagai penghibur hati. Perasaan manusia dideskripsikan dalam buku dengan lengkap, ada yang berkisah tentang pilu, gundah, bahagia, tegang, dan mencekam. Semua itu tidak lain memberikan penyegaran bagi daya imajinasi seseorang.”

 

R

asa syukur kupanjatkan tidak hentinya atas nikmat sehat dan rasa semangat untuk menggali ilmu. Waktu malam yang biasanya digunakan untuk bersantai dan terlelap tidur telah saya investasikan pada kegiatan belajar menulis ini. Ya, pelatihan belajar menulis yang diadakan lewat grup Whatsapp. Grup yang isinya tidak lain rekan dan mentor yang sama-sama ingin mengenal seni menulis dengan baik. Meskipun pada kenyataannya saya merasa paling tidak paham di antara yang lain. Terbukti dari tulisan rekan satu grup yang sudah ‘mapan’ dibanding dengan saya. Namun, itu tidaklah menyurutkan hasrat saya. Saya tetap maju dan pantang menyerah.

Keputusan saya untuk menciptakan perubahan ini tidak hanya menguntungkan bagi saya saja. Hal ini dikarenakan manfaat menulis sendiri begitu banyak, mulai dari terekspresikannya perasaan kita, sebagai teman bicara, interpretasi kisah orang lain, sebagai penyegaran, dan bekal pengetahuan di masyarakat. Akan tetapi, sebelum merasakan manfaat atau hak kita sebagai penulis, ada hal yang mesti diperhatikan.

Pertama, seseorang akan mudah menulis dan manfaatnya sampai, apabila orang tersebut juga mengapresiasi karya orang lain. Manakala seorang penulis tidak membaca atau mengapresiasi karya yang lain, rasa tulisannya akan hambar. Sebab, kita tidak terbiasa dengan ragam kata, kalimat, istilah, dan ungkapan yang digunakan dalam menulis. Kedua, sebagai penulis atau calon penulis mesti memahami kebutuhan bacaan masyarakat saat ini. Jangan sampai tulisan kita hanya goresan tinta pada kertas semata. Bukankah itu sia-sia?

Berdasararkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi penulis diperlukan langkah awal yakni menjadi pembaca dan pengapresiasi. Tujuannya agar calon penulis kelak mampu menciptakan karya yang bermanfaat. Berbicara tentang membaca, sudahkah kita membaca sekurang-kurangnya 100 buku? Pertanyaan ini sangat berkaitan dengan materi pertemuan pelatihan belajar menulis kali ini. Berikut ulasan pertemuan tersebut, selamat merenungi.

RABU, 13 JANUARI 2021 adalah hari di mana kami –peserta pelatihan menulis— berkumpul pada pertemuan kelima. Acara yang berlangsung sejak pukul 19.00 WIB ini berjalan dengan lancar seperti biasanya. Pada pertemuan kelima yang dipandu oleh Ibu Aam Nurhasanah, S.Pd. ini sukses menarik perhatian. Bukan hanya karena materinya sangat berkaitan dengan kami yang notabene pendidik, tetapi peserta begitu terpukau dengan prestasi moderator asal Lebak, Banten ini. Mungkin pembaca tulisan saya sudah tidak asing dengan sosok beliau.

Di samping hebatnya moderator pelatihan kali ini, kami juga disegarkan dengan materi yang erat dengan profesi kami. Materi tersebut dibawakan oleh Bapak Bambang Purwanto, S.Kom., Gr., yang akrab disapa dengan Mr. Bams. Beliau adalah Ketua Tim Gerakan Literasi Sekolah (GLS) di SMP Taruna Bakti dan aktif dalam tulis-menulis. Karyanya sudah dapat dinikmati pembaca di manapun.

Mr. Bams yang dikenal aktif sebagai pegiat literasi ini juga berperan sebagai guru, perangkat desa setingkat RW, pekerja sosial, dan pendongeng. Beliau juga menciptakan taman baca bagi masyarakat setempat. Dengan banyaknya peran yang diambil tidak menyurutkannya terus menerbar semangat literasi, seperti tema pematerian kali ini.

Pematerian yang dibawakan Mr. Bams ini bertema “Menebarkan Semangat Hobi Menulis untuk Gerakan Literasi Sekolah (GLS)”. Ini alasan mengapa materi kali ini sangat erat dengan profesi kami. Sebab, pendidik sudah seyogyanya menciptakan sindrom membaca bagi anak didiknya. Tentu, kita sebagai contoh pertama mereka. Akan tetapi, nyatanya tidak banyak sekolah yang sudah melakukan gerakan literasi. Satu dan lain hal mungkin melatarbelakanginya, tetapi ini tidak dapat terus menjadi alasan gerakan literasi ini tidak terjalankan. 

Nah, pada kesempatan ini kami diminta untuk turut serta menebarkan semangat hobi menulis melalui gerakan literasi di sekolah. Sebagai informasi, literasi tidak melulu tentang membaca, tetapi juga menulis. Namun, keduanya sangat berkaitan satu sama lain sehingga untuk menjalankannya itu selalu berdampingan dan berurutan.

MENURUT MR. BAMS, dalam menjaga semangat dan kemampuan menulis, kita juga harus disibukkan dengan melakukan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Tentunya sebagai pendidik harus tidak asing lagi dengan istilah tersebut. Harapannya program literasi sekolah ini berjalan secara masif. Dengan muatan program yang sederhana dahulu seperti membaca lima belas menit, pojok baca, pohon literasi, dan tantangan baca di sekolah bagi guru dan siswa.

Program yang diciptakan lewat pembiasaan, pengembangan, dan pembudayaan hasil akhir berupa karya literasi peserta didik dan guru ini menjadi wadah. Wadah menghidupkan kembali semangat menulis. Lihat saja bagaimana Mr. Bams mampu meraih berbagai penghargaan bidang literasi. Itu sebab kerja kerasnya menciptakan budaya baca yang strategis bagi kedua elemen penting: peserta didik dan pendidik itu sendiri.

Pertanyaannya, bagaimana jalan menulis ini diciptakan melalui Gerakan Literasi Sekolah (GLS)? Mr. Bams menjawabnya melalui program GLS yang menarik bagi peserta didik. Dengan memberikan fasilitas berupa buku bacaan, membiasakan membaca kitab suci agama yang dianut masing-masing, dan menulis sebagai bentuk ekses dari kegiatan baca. Selain menciptakan pembiasan-pembiasaan tersebut, pendidik pun diharuskan menjadikan program ini lebih menantang dan menarik dengan diadakannya evaluasi berupa perolehan poin.

Jalan seperti inilah yang ditempuh oleh pemateri pelatihan kelima ini. Bayangkan ketika putra-putri atau peserta didik kita mampu membaca buku, menceritakannya, dan membuat karya yang menginsipirasi. Sebab, seperti di awal, buku itu pelipur lara. Kita dapat membayangkan menjadi siapa saja, dapat terinspirasi oleh hal baik, dan menjadi seseorang yang cerdas dengan hanya membaca buku. Ini juga harus menjadi cambuk bukan untuk peserta didik saja, tetapi pendidiknya pun harus melek bacaan sehingga dapat menulis karya yang cocok untuk bacaan sekolah atau sekadar memotivasi peserta didik lewat stimulant gurunya. Hebat bukan?

Kebanggaan ini semakin berharga apabila di antara banyaknya peserta didik, ada yang benar-benar terinspirasi oleh tindakan dan karya kita. Bahkan saya menjadi semakin bersemangat untuk melanjutkan perjalanan saya dalam tulis menulis. Inilah pemantik yang disulutkan pada kami oleh Mr. Bams selama pembelajaran menulis. Beliau pun demikian, untuk melahirkan karya ia harus menebarkan hobinya tersebut. Jadi, sudah siapkah kita menjadi pegiat literasi?

Setidaknya bagi saya, literasi ini membawa kembali api semangat dalam diri untuk tetap menulis. Rasa iri terhadap karya yang dibaca akan membuat kita semakin gelisah dan terus mencoba menciptakan ragam karya, membuat kita tidak puas untuk menebar kebaikan lewat tulisan, dan semakin menciptakan kita sebagai seseorang yang rendah hati lewat apresiasi pembaca kita. Sebab itu, saya membuat bentuk pemaksimalan GLS sebagai berikut.

1.      Tantang Literasi Bagi Peserta Didik

Peserta didik mungkin tidak akan cepat tergugah jika buku bacaan awal mereka adalah buku ilmiah. Untuk itu, distimulasilah mereka lewat buku fiksi dengan ketentuan yang telah disediakan. Tujuannya agar peserta didik meningkat minat bacanya. Sebagai contoh, dalam budaya masyarakat, orang tua seringkali membacakan buku cerita anak. Ini menjadi fondasi mengapa buku fiksi dipilih sebagai pemicu katarsis tersebut. Setelah peserta didik tertantang, maka menulis pun akan mengikuti. Mungkin awalnya tulisan mereka akan memiliki gaya yang sama dengan buku yang dibacanya, tetapi lama-kelamaan mereka akan memiliki gaya tersendiri. Tantangan ini pun berlaku bagi pendidik sebagai contoh pertama di sekolah.

2.      Fasilitas Buku Lewat Penggalangan Dana atau CSR

Agar peserta didik dan pendidiknya ikut terpacu dalam mengikuti program literasi sekolah, tentu diperlukan fasilitas yang sepadan. Minimal, buku-buku yang banyak ragamnya tersedia di sekolah. Nah, jalan ini telah dibukakan selebar-lebarnya oleh banyak perusahaan atau individu. Setiap perusahaan besar dipastikan wajib memiliki CSR nya sendiri. CSR diibaratkan ruang bagi perusahaan untuk memberikan pengabdian bagi masyarakat. Salah satunya melalui CSR Gramedia Utama memberikan banyak buku bernilai jutaan yang memang tidak dapat dibeli oleh rata-rata wali peserta didik di sekolah. Kesempatan ini menjadi motivasi bagi peserta didik untuk terus membaca.

Adapun dana individu adalah dana yang diberikan oleh perorangan sebagai bentuk kepeduliaan mereka terhadap tingkat baca di masyarakat. Dana seperti ini selalu terbuka bagi mereka yang mau berusaha. Peserta didik yang mungkin ogah-ogahan baca jadi ingin terus baca sebab fasilitas yang memadai dan buku yang menarik.

3.      Optimalkan How to Write

Dalam mengoptimalkan gaya menulis saya, saya lebih menekankan how dibanding what kepada peserta didik. Mereka akan lebih terasah kemampuan menulisnya sebab mereka tahu bagaimana cerita diawali, diisi, dan diakhiri. Ini pun berdampak bagi saya dalam menyusun karya.

Berdasarkan ketiga butir tersebut, saya mampu berdiri dengan bangga apabila mampu menebarkan semangat literasi kepada peserta didik atau rekan sejawat saya di sekolah. Ketiga hal itu akan tercapai jika semua bahu membahu, serta kita tidak mudah goyah hanya karena merasa tidak mampu.

Di masa sekarang dan masa depan, saya ingin karya saya menjadi setawar dan sedingin bagi semua orang yang membacanya.”

 

Salam literasi.

 

Tidak ada komentar:

BAHAN AJAR DAN LKPD

NORMA-NORMA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT Kebutuhan antara satu manusia dengan manusia lainnya tidak selalu sama dan terus berubah. Dengan bany...