TEBAR
SEMANGAT MENULIS
LEWAT
GERAKAN LITERASI SEKOLAH (GLS)
RESUME KELIMA:
Oleh
Ati Rohaeti
R |
asa syukur
kupanjatkan tidak hentinya atas nikmat sehat dan rasa semangat untuk menggali
ilmu. Waktu malam yang biasanya digunakan untuk bersantai dan terlelap tidur
telah saya investasikan pada kegiatan belajar menulis ini. Ya, pelatihan
belajar menulis yang diadakan lewat grup Whatsapp. Grup yang isinya tidak lain
rekan dan mentor yang sama-sama ingin mengenal seni menulis dengan baik.
Meskipun pada kenyataannya saya merasa paling tidak paham di antara yang lain.
Terbukti dari tulisan rekan satu grup yang sudah ‘mapan’ dibanding dengan saya.
Namun, itu tidaklah menyurutkan hasrat saya. Saya tetap maju dan pantang
menyerah.
Keputusan
saya untuk menciptakan perubahan ini tidak hanya menguntungkan bagi saya saja.
Hal ini dikarenakan manfaat menulis sendiri begitu banyak, mulai dari
terekspresikannya perasaan kita, sebagai teman bicara, interpretasi kisah orang
lain, sebagai penyegaran, dan bekal pengetahuan di masyarakat. Akan tetapi,
sebelum merasakan manfaat atau hak kita sebagai penulis, ada hal yang mesti
diperhatikan.
Pertama, seseorang akan mudah menulis dan manfaatnya
sampai, apabila orang tersebut juga mengapresiasi karya orang lain. Manakala
seorang penulis tidak membaca atau mengapresiasi karya yang lain, rasa
tulisannya akan hambar. Sebab, kita tidak terbiasa dengan ragam kata, kalimat,
istilah, dan ungkapan yang digunakan dalam menulis. Kedua, sebagai penulis atau calon penulis mesti memahami kebutuhan
bacaan masyarakat saat ini. Jangan sampai tulisan kita hanya goresan tinta pada
kertas semata. Bukankah itu sia-sia?
Berdasararkan
hal tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi penulis diperlukan langkah
awal yakni menjadi pembaca dan pengapresiasi. Tujuannya agar calon penulis
kelak mampu menciptakan karya yang bermanfaat. Berbicara tentang membaca, sudahkah kita membaca sekurang-kurangnya 100
buku? Pertanyaan ini sangat berkaitan dengan materi pertemuan pelatihan
belajar menulis kali ini. Berikut ulasan pertemuan tersebut, selamat merenungi.
RABU, 13 JANUARI 2021 adalah hari di mana kami –peserta pelatihan
menulis— berkumpul pada pertemuan kelima. Acara yang berlangsung sejak pukul
19.00 WIB ini berjalan dengan lancar seperti biasanya. Pada pertemuan kelima
yang dipandu oleh Ibu Aam Nurhasanah, S.Pd. ini sukses menarik perhatian. Bukan
hanya karena materinya sangat berkaitan dengan kami yang notabene pendidik,
tetapi peserta begitu terpukau dengan prestasi moderator asal Lebak, Banten
ini. Mungkin pembaca tulisan saya sudah tidak asing dengan sosok beliau.
Di
samping hebatnya moderator pelatihan kali ini, kami juga disegarkan dengan
materi yang erat dengan profesi kami. Materi tersebut dibawakan oleh Bapak
Bambang Purwanto, S.Kom., Gr., yang akrab disapa dengan Mr. Bams. Beliau adalah
Ketua Tim Gerakan Literasi Sekolah (GLS) di SMP Taruna Bakti dan aktif dalam
tulis-menulis. Karyanya sudah dapat dinikmati pembaca di manapun.
Mr.
Bams yang dikenal aktif sebagai pegiat literasi ini juga berperan sebagai guru,
perangkat desa setingkat RW, pekerja sosial, dan pendongeng. Beliau juga
menciptakan taman baca bagi masyarakat setempat. Dengan banyaknya peran yang
diambil tidak menyurutkannya terus menerbar semangat literasi, seperti tema
pematerian kali ini.
Pematerian
yang dibawakan Mr. Bams ini bertema “Menebarkan Semangat Hobi Menulis untuk
Gerakan Literasi Sekolah (GLS)”. Ini alasan mengapa materi kali ini sangat erat
dengan profesi kami. Sebab, pendidik sudah seyogyanya menciptakan sindrom
membaca bagi anak didiknya. Tentu, kita sebagai contoh pertama mereka. Akan
tetapi, nyatanya tidak banyak sekolah yang sudah melakukan gerakan literasi.
Satu dan lain hal mungkin melatarbelakanginya, tetapi ini tidak dapat terus
menjadi alasan gerakan literasi ini tidak terjalankan.
Nah, pada kesempatan ini kami diminta untuk
turut serta menebarkan semangat hobi menulis melalui gerakan literasi di
sekolah. Sebagai informasi, literasi tidak melulu tentang membaca, tetapi juga
menulis. Namun, keduanya sangat berkaitan satu sama lain sehingga untuk
menjalankannya itu selalu berdampingan dan berurutan.
MENURUT MR. BAMS, dalam menjaga semangat dan kemampuan
menulis, kita juga harus disibukkan dengan melakukan Gerakan Literasi Sekolah
(GLS). Tentunya sebagai pendidik harus tidak asing lagi dengan istilah
tersebut. Harapannya program literasi sekolah ini berjalan secara masif. Dengan
muatan program yang sederhana dahulu seperti membaca lima belas menit, pojok
baca, pohon literasi, dan tantangan baca di sekolah bagi guru dan siswa.
Program
yang diciptakan lewat pembiasaan, pengembangan, dan pembudayaan hasil akhir
berupa karya literasi peserta didik dan guru ini menjadi wadah. Wadah
menghidupkan kembali semangat menulis. Lihat saja bagaimana Mr. Bams mampu
meraih berbagai penghargaan bidang literasi. Itu sebab kerja kerasnya
menciptakan budaya baca yang strategis bagi kedua elemen penting: peserta didik
dan pendidik itu sendiri.
Pertanyaannya,
bagaimana jalan menulis ini diciptakan
melalui Gerakan Literasi Sekolah (GLS)? Mr. Bams menjawabnya melalui
program GLS yang menarik bagi peserta didik. Dengan memberikan fasilitas berupa
buku bacaan, membiasakan membaca kitab suci agama yang dianut masing-masing,
dan menulis sebagai bentuk ekses dari kegiatan baca. Selain menciptakan
pembiasan-pembiasaan tersebut, pendidik pun diharuskan menjadikan program ini
lebih menantang dan menarik dengan diadakannya evaluasi berupa perolehan poin.
Jalan
seperti inilah yang ditempuh oleh pemateri pelatihan kelima ini. Bayangkan
ketika putra-putri atau peserta didik kita mampu membaca buku, menceritakannya,
dan membuat karya yang menginsipirasi. Sebab, seperti di awal, buku itu pelipur
lara. Kita dapat membayangkan menjadi siapa saja, dapat terinspirasi oleh hal
baik, dan menjadi seseorang yang cerdas dengan hanya membaca buku. Ini juga
harus menjadi cambuk bukan untuk peserta didik saja, tetapi pendidiknya pun
harus melek bacaan sehingga dapat menulis karya yang cocok untuk bacaan sekolah
atau sekadar memotivasi peserta didik lewat stimulant gurunya. Hebat bukan?
Kebanggaan
ini semakin berharga apabila di antara banyaknya peserta didik, ada yang
benar-benar terinspirasi oleh tindakan dan karya kita. Bahkan saya menjadi
semakin bersemangat untuk melanjutkan perjalanan saya dalam tulis menulis.
Inilah pemantik yang disulutkan pada kami oleh Mr. Bams selama pembelajaran
menulis. Beliau pun demikian, untuk melahirkan karya ia harus menebarkan
hobinya tersebut. Jadi, sudah siapkah kita menjadi pegiat literasi?
Setidaknya
bagi saya, literasi ini membawa kembali api semangat dalam diri untuk tetap
menulis. Rasa iri terhadap karya yang dibaca akan membuat kita semakin gelisah
dan terus mencoba menciptakan ragam karya, membuat kita tidak puas untuk
menebar kebaikan lewat tulisan, dan semakin menciptakan kita sebagai seseorang yang
rendah hati lewat apresiasi pembaca kita. Sebab itu, saya membuat bentuk
pemaksimalan GLS sebagai berikut.
1. Tantang Literasi Bagi Peserta Didik
Peserta didik mungkin tidak akan cepat
tergugah jika buku bacaan awal mereka adalah buku ilmiah. Untuk itu,
distimulasilah mereka lewat buku fiksi dengan ketentuan yang telah disediakan.
Tujuannya agar peserta didik meningkat minat bacanya. Sebagai contoh, dalam
budaya masyarakat, orang tua seringkali membacakan buku cerita anak. Ini
menjadi fondasi mengapa buku fiksi dipilih sebagai pemicu katarsis tersebut.
Setelah peserta didik tertantang, maka menulis pun akan mengikuti. Mungkin
awalnya tulisan mereka akan memiliki gaya yang sama dengan buku yang dibacanya,
tetapi lama-kelamaan mereka akan memiliki gaya tersendiri. Tantangan ini pun
berlaku bagi pendidik sebagai contoh pertama di sekolah.
2. Fasilitas Buku Lewat Penggalangan Dana atau CSR
Agar peserta didik dan pendidiknya ikut
terpacu dalam mengikuti program literasi sekolah, tentu diperlukan fasilitas
yang sepadan. Minimal, buku-buku yang banyak ragamnya tersedia di sekolah. Nah,
jalan ini telah dibukakan selebar-lebarnya oleh banyak perusahaan atau
individu. Setiap perusahaan besar dipastikan wajib memiliki CSR nya sendiri.
CSR diibaratkan ruang bagi perusahaan untuk memberikan pengabdian bagi
masyarakat. Salah satunya melalui CSR Gramedia Utama memberikan banyak buku
bernilai jutaan yang memang tidak dapat dibeli oleh rata-rata wali peserta
didik di sekolah. Kesempatan ini menjadi motivasi bagi peserta didik untuk
terus membaca.
Adapun dana individu adalah dana yang
diberikan oleh perorangan sebagai bentuk kepeduliaan mereka terhadap tingkat
baca di masyarakat. Dana seperti ini selalu terbuka bagi mereka yang mau
berusaha. Peserta didik yang mungkin ogah-ogahan
baca jadi ingin terus baca sebab fasilitas yang memadai dan buku yang
menarik.
3. Optimalkan How to Write
Dalam mengoptimalkan gaya menulis saya, saya
lebih menekankan how dibanding what kepada peserta didik. Mereka akan
lebih terasah kemampuan menulisnya sebab mereka tahu bagaimana cerita diawali, diisi, dan diakhiri. Ini pun berdampak
bagi saya dalam menyusun karya.
Berdasarkan
ketiga butir tersebut, saya mampu berdiri dengan bangga apabila mampu
menebarkan semangat literasi kepada peserta didik atau rekan sejawat saya di
sekolah. Ketiga hal itu akan tercapai jika semua bahu membahu, serta kita tidak
mudah goyah hanya karena merasa tidak mampu.
“Di masa sekarang dan masa depan,
saya ingin karya saya menjadi setawar dan sedingin bagi semua orang yang
membacanya.”
Salam literasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar