MENULIS DENGAN KEKUATAN SILATURAHMI
RESUME KETIGA:
Oleh Ati Rohaeti
J |
umat, 8 Januari 2021
merupakan pertemuan ketiga dalam pelatihan menulis. Pelatihan yang diadakan
malam hari ini membawa saya mengenal dua orang hebat. Pertama, Ibu Aam
Nurhasanah sebagai moderator yang juga pernah menjadi peserta Pelatihan Belajar
Menulis PGRI Gelombang 10 dan sukses menerbitkan banyak buku. Kedua, Ibu Dra.
Sri Sugiastuti, M.Pd. dan dikenal dengan sebutan Ibu Kanjeng sebagai
narasumber.
Dalam
pertemuan malam itu, saya merasa takjub kepada keduanya. Terutama torehan pena
Ibu Kanjeng yang tidak putusnya hanya karena usia senja. Aktif dalam membimbing
penulis pemula dan bergiat dalam komunitas pegiat Literasi Nusantara
menjadikannya semakin berpengalaman. Tentu hal ini menjadi motivasi bagi saya
mengingat usia yang tidak muda lagi. Di usia 60 tahun tidaklah mudah menggugah
selera kita dalam menulis atau produksi karya lain. Namun, bagi Ibu Kanjeng hal
tersebut bukanlah alasan untuk tidak mengambil bagian dalam proses mencipta.
Karyanya saja tidak sedikit yang sudah diterbitkan dan menginspirasi banyak
orang. Teramat bahagia saya dapat mengenal keduanya, terutama mengingat torehan
prestasi yang mereka ukir melalui sebuah tulisan.
SAYA tidak lekas puas hanya dengan mendengar
prestasi mereka. Saya masih ingin dipuaskan dengan mendengar sesi pelatihan
malam itu yang bertema “Menulis dengan Kekuatan Silaturahmi”. Tema menarik ini
berbeda dengan tema-tema pada pelatihan sebelumnya. Bahkan saya sendiri
bertanya-tanya akan seperti apa pelatihan malam itu. Pertemuan yang tidak
membahas teknik menulis ini sarat akan esensi menulis. Apabila
sebelum-sebelumnya tulisan itu harus menarik secara bahasa dan ide tulisan.
Pada pelatihan ini, esensi tulisan dan berasal dari mana ide tulisanlah yang
menjadi fokus pembahasan. Ya, rasa penasaran saya terbayarkan dengan mengikuti
pelatihan ketiga ini.
Sebelum
membahas tema pelatihan, Ibu Kanjeng mengajak peserta untuk bersilaturahmi
dengan mengunjungi beberapa tulisan pada blognya. Di antara sekian banyak
tulisan pada blog beliau, salah satunya berisi tentang menulis dengan kekuatan
silaturahmi. Isinya tidak perlu diragukan lagi. Tulisannya menarik untuk
dibaca, ilmu di dalamnya mudah diserap, dan ide tulisannya menciptakan katarsis
bagi penulis pemula. Saya percaya dan yakin dengan menerapkan konsep
silaturahmi tulisan dapat menjadikan penulis pemula lebih inovatif, kreatif,
dan lugas mengembangkan idenya. Sebab, pembendaharaan kata yang didapat selagi
membaca semakin meningkat. Tidak hanya itu, tulisan kita menjadi lebih
esensial.
Metode silaturahmi yang dimaksudkan beliau
membawa perubahan terhadap pola pikir penulis pemula. Hebatnya tulisan bukan
sekadar pintar membendaharakan kata, menggunakan gaya bahasa, atau panjang-pendek
tulisan tersebut. Tidak lain, proses penulis mendapat sebanyak-banyaknya
referensi dari ragam tulisan sebagai bahan refleksi. Dari sana –kunjungan blog
Bu Kanjeng— saya mendapat banyak hal. Menariknya, meskipun beliau membahas
tentang ruh dari tulisan, namun ia
tidak lepas tangan mengenai cara menulis yang baik dan benar. Tulisannya
dirangkai dengan pilihan kata yang tepat dan kalimatnya tersusun secara
sistematis membentuk satu bahasan menarik. Pembaca dari kalangan manapun akan
mudah memahami maksud tulisan dan asyiknya tulisan Bu Kanjeng menjadikan
pembaca larut dalam euforia tulisan.
MENULIS dengan kekuatan silaturahmi sendiri berangkat dari Bu Kanjeng
yang semakin menekuni bidang tulis-menulis. Metode menulis seperti ini, menurut
Bu Kanjeng, dapat dilakukan oleh perorangan. Hal ini sudah dibuktikan beliau
dalam bukunya yang berjudul “Catatan Motivasi dan Literasi Bu Kanjeng”. Buku
yang sebagian besar berisi motivasi dan catatan dirinya untuk memulai segala
sesuatu ini sarat akan petuah untuk menjadi manusia yang bermanfaat.
Sebagaimana yang dikutip dari sinopsis buku tersebut, beliau sangat mengelukan
kalimat bijak Ki Hajar Dewantara bahwa apapun yang dilakukan seseorang itu
hendaknya bermanfaat bagi diri sendiri, bangsa, dan manusia pada umumnya.
Karya lainnya yang memikat hati
saya adalah “The Stories of Wonder Women”. Buku yang terlahir dari hebatnya
silaturahmi ini berisi 25 kisah perjuangan hidup perempuan. Mengisahkan
perempuan-perempuan hebat dalam menjalani kehidupan yang berbeda dengan cara
dan bidangnya masing-masing. Kisah tersebut bukan sekadar fiktif belaka
melainkan kenyataan pahit para perempuan menyelesaikan ujian Tuhan. Kisah-kisah
seperti ini tidak datang dari menunggu ilham ide saja, tetapi datang dari
kebiasaan penulis mengamati, mengikuti, dan mengilhami setiap kegiatan yang
dilakukannya di masyarakat. Kegiatan yang melatarbelakangi ide tulisannya ini
berasal dari kebiasaan dirinya mengikuti majelis taklim, mendengar ceramah, dan
membaca beragam buku untuk memperkaya tulisannya.
Istilah
silaturahmi dalam pelatihan kali ini tidak melulu antara orang kepada orang
lain. Akan tetapi, silaturahmi juga dimaksudkan pada bagaimana kita menjalin
tali persahabatan dengan bacaan, lingkungan, dan bahkan diri sendiri sebagai
penulis. Silaturahmi sendiri berkonotasi postif, yang secara tidak langsung
memberikan pelajaran pada kita untuk selalu peka dan peduli terhadap lingkungan
sosial, menanamkan rasa syukur pada pencipta, sebagai terapi dan obat stres
kala bersedih. Nilai silaturahmi yang begitu luar biasa ini diangkat dengan
brilian oleh Ibu Kanjeng sebagai kekuatan dalam menciptakan sebuah tulisan.
Setelah pemaparannya, Bu
Kanjeng memberikan beberapa simpulan dan motivasi bagi penulisa pemula seperti
saya. Berikut simpulan dalam pelatihan menulis kali ini.
1.
Seorang penulis tidak melulu terlahir dengan memiliki bakat.
Setiap orang dapat menulis dan menjadi penulis. Yang terpenting adalah mau
berusaha, belajar, dan berlatih mengasah kemampuannya.
2.
Niatkan mengikuti pembelajaran menulis untuk melatih dan
mengasah kemampuan menulis. Jangan sekadar memburu sertifikat ataupun piagam
pelatihan saja. Jika pelatihan menulis hanya bernilai sebuah kertas saja,
sampai kapanpun manfaat pelatihan menulis tidak akan sampai.
3.
Perbanyak silaturahmi ragam bacaan, baik melalui buku,
jurnal, koran, majalah, atau laman-laman di internet seperti blog. Dengan
begitu, penulis akan semakin terinsiprasi dalam menulis sebab banyaknya ide
yang diserap.
4.
Perbanyak silaturahmi melalui kegiatan kemasyarakatan seperti
mengikuti majelis ilmu, mendengar ceramah, nasihat, dan motivasi. Ini dapat
memperkaya ide sebagai bahan meramu tulisan menjadi lebih menarik dan variatif.
5.
Perbanyak silaturahmi melalui orang lain. Cara belajar yang
paling mudah ialah dengan mengamati orang lain, berbicara satu sama lain, dan
terinsiprasi dari orang lain. Hal ini dapat dijadikan salah satu referensi
penulis dalam mengemas tulisannya akan seperti apa.
SAYA rasa motivasi, petuah, dan metode yang
beliau jabarkan dengan istilah silaturahmi ini mengena dalam hati saya. Saya
yang semula enggan berpartisipasi dalam kegiatan belajar menulis dan membuat
buku menjadi tertarik untuk ikut serta. Tidak ada kekhawatiran akan usia yang
telah senja. Hal yang saya khawatirkan adalah saya tidak dapat mencipta karya apapun
selagi saya mampu. Benar kata Bu Kanjeng, belajar itu hingga akhir hayat.
Sementara berkarya itu selagi bisa. Maka, tidakkah sia-sia ilmu yang didapat
apabila tidak kita ciptakan jadi suatu karya yang bermanfaat seperti tulisan.
Untuk itu, tetap menulis dan menjadi manusia yang bermanfaat!
“Penulis
itu mesti bak ilmu padi, kian berisi kian runduk. Selalu merendahkan diri
(tidak sombong) atas pencapaian yang didapat. Alih-alih menyombongkan diri,
penulis mesti memperkaya diri dengan ilmu lain yang ia baca.”
Salam literasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar