Rabu, 17 Februari 2021

MENULIS DENGAN KEKUATAN SILATURAHMI

 

MENULIS DENGAN KEKUATAN SILATURAHMI

RESUME KETIGA:

Oleh Ati Rohaeti


 

J

umat, 8 Januari 2021 merupakan pertemuan ketiga dalam pelatihan menulis. Pelatihan yang diadakan malam hari ini membawa saya mengenal dua orang hebat. Pertama, Ibu Aam Nurhasanah sebagai moderator yang juga pernah menjadi peserta Pelatihan Belajar Menulis PGRI Gelombang 10 dan sukses menerbitkan banyak buku. Kedua, Ibu Dra. Sri Sugiastuti, M.Pd. dan dikenal dengan sebutan Ibu Kanjeng sebagai narasumber.

Dalam pertemuan malam itu, saya merasa takjub kepada keduanya. Terutama torehan pena Ibu Kanjeng yang tidak putusnya hanya karena usia senja. Aktif dalam membimbing penulis pemula dan bergiat dalam komunitas pegiat Literasi Nusantara menjadikannya semakin berpengalaman. Tentu hal ini menjadi motivasi bagi saya mengingat usia yang tidak muda lagi. Di usia 60 tahun tidaklah mudah menggugah selera kita dalam menulis atau produksi karya lain. Namun, bagi Ibu Kanjeng hal tersebut bukanlah alasan untuk tidak mengambil bagian dalam proses mencipta. Karyanya saja tidak sedikit yang sudah diterbitkan dan menginspirasi banyak orang. Teramat bahagia saya dapat mengenal keduanya, terutama mengingat torehan prestasi yang mereka ukir melalui sebuah tulisan.

SAYA tidak lekas puas hanya dengan mendengar prestasi mereka. Saya masih ingin dipuaskan dengan mendengar sesi pelatihan malam itu yang bertema “Menulis dengan Kekuatan Silaturahmi”. Tema menarik ini berbeda dengan tema-tema pada pelatihan sebelumnya. Bahkan saya sendiri bertanya-tanya akan seperti apa pelatihan malam itu. Pertemuan yang tidak membahas teknik menulis ini sarat akan esensi menulis. Apabila sebelum-sebelumnya tulisan itu harus menarik secara bahasa dan ide tulisan. Pada pelatihan ini, esensi tulisan dan berasal dari mana ide tulisanlah yang menjadi fokus pembahasan. Ya, rasa penasaran saya terbayarkan dengan mengikuti pelatihan ketiga ini.

Sebelum membahas tema pelatihan, Ibu Kanjeng mengajak peserta untuk bersilaturahmi dengan mengunjungi beberapa tulisan pada blognya. Di antara sekian banyak tulisan pada blog beliau, salah satunya berisi tentang menulis dengan kekuatan silaturahmi. Isinya tidak perlu diragukan lagi. Tulisannya menarik untuk dibaca, ilmu di dalamnya mudah diserap, dan ide tulisannya menciptakan katarsis bagi penulis pemula. Saya percaya dan yakin dengan menerapkan konsep silaturahmi tulisan dapat menjadikan penulis pemula lebih inovatif, kreatif, dan lugas mengembangkan idenya. Sebab, pembendaharaan kata yang didapat selagi membaca semakin meningkat. Tidak hanya itu, tulisan kita menjadi lebih esensial.

Metode silaturahmi yang dimaksudkan beliau membawa perubahan terhadap pola pikir penulis pemula. Hebatnya tulisan bukan sekadar pintar membendaharakan kata, menggunakan gaya bahasa, atau panjang-pendek tulisan tersebut. Tidak lain, proses penulis mendapat sebanyak-banyaknya referensi dari ragam tulisan sebagai bahan refleksi. Dari sana –kunjungan blog Bu Kanjeng— saya mendapat banyak hal. Menariknya, meskipun beliau membahas tentang ruh dari tulisan, namun ia tidak lepas tangan mengenai cara menulis yang baik dan benar. Tulisannya dirangkai dengan pilihan kata yang tepat dan kalimatnya tersusun secara sistematis membentuk satu bahasan menarik. Pembaca dari kalangan manapun akan mudah memahami maksud tulisan dan asyiknya tulisan Bu Kanjeng menjadikan pembaca larut dalam euforia tulisan. 

MENULIS dengan kekuatan silaturahmi sendiri berangkat dari Bu Kanjeng yang semakin menekuni bidang tulis-menulis. Metode menulis seperti ini, menurut Bu Kanjeng, dapat dilakukan oleh perorangan. Hal ini sudah dibuktikan beliau dalam bukunya yang berjudul “Catatan Motivasi dan Literasi Bu Kanjeng”. Buku yang sebagian besar berisi motivasi dan catatan dirinya untuk memulai segala sesuatu ini sarat akan petuah untuk menjadi manusia yang bermanfaat. Sebagaimana yang dikutip dari sinopsis buku tersebut, beliau sangat mengelukan kalimat bijak Ki Hajar Dewantara bahwa apapun yang dilakukan seseorang itu hendaknya bermanfaat bagi diri sendiri, bangsa, dan manusia pada umumnya.

Karya lainnya yang memikat hati saya adalah “The Stories of Wonder Women”. Buku yang terlahir dari hebatnya silaturahmi ini berisi 25 kisah perjuangan hidup perempuan. Mengisahkan perempuan-perempuan hebat dalam menjalani kehidupan yang berbeda dengan cara dan bidangnya masing-masing. Kisah tersebut bukan sekadar fiktif belaka melainkan kenyataan pahit para perempuan menyelesaikan ujian Tuhan. Kisah-kisah seperti ini tidak datang dari menunggu ilham ide saja, tetapi datang dari kebiasaan penulis mengamati, mengikuti, dan mengilhami setiap kegiatan yang dilakukannya di masyarakat. Kegiatan yang melatarbelakangi ide tulisannya ini berasal dari kebiasaan dirinya mengikuti majelis taklim, mendengar ceramah, dan membaca beragam buku untuk memperkaya tulisannya.

Istilah silaturahmi dalam pelatihan kali ini tidak melulu antara orang kepada orang lain. Akan tetapi, silaturahmi juga dimaksudkan pada bagaimana kita menjalin tali persahabatan dengan bacaan, lingkungan, dan bahkan diri sendiri sebagai penulis. Silaturahmi sendiri berkonotasi postif, yang secara tidak langsung memberikan pelajaran pada kita untuk selalu peka dan peduli terhadap lingkungan sosial, menanamkan rasa syukur pada pencipta, sebagai terapi dan obat stres kala bersedih. Nilai silaturahmi yang begitu luar biasa ini diangkat dengan brilian oleh Ibu Kanjeng sebagai kekuatan dalam menciptakan sebuah tulisan.

Setelah pemaparannya, Bu Kanjeng memberikan beberapa simpulan dan motivasi bagi penulisa pemula seperti saya. Berikut simpulan dalam pelatihan menulis kali ini.

1.      Seorang penulis tidak melulu terlahir dengan memiliki bakat. Setiap orang dapat menulis dan menjadi penulis. Yang terpenting adalah mau berusaha, belajar, dan berlatih mengasah kemampuannya.

2.      Niatkan mengikuti pembelajaran menulis untuk melatih dan mengasah kemampuan menulis. Jangan sekadar memburu sertifikat ataupun piagam pelatihan saja. Jika pelatihan menulis hanya bernilai sebuah kertas saja, sampai kapanpun manfaat pelatihan menulis tidak akan sampai.

3.      Perbanyak silaturahmi ragam bacaan, baik melalui buku, jurnal, koran, majalah, atau laman-laman di internet seperti blog. Dengan begitu, penulis akan semakin terinsiprasi dalam menulis sebab banyaknya ide yang diserap.

4.      Perbanyak silaturahmi melalui kegiatan kemasyarakatan seperti mengikuti majelis ilmu, mendengar ceramah, nasihat, dan motivasi. Ini dapat memperkaya ide sebagai bahan meramu tulisan menjadi lebih menarik dan variatif.

5.      Perbanyak silaturahmi melalui orang lain. Cara belajar yang paling mudah ialah dengan mengamati orang lain, berbicara satu sama lain, dan terinsiprasi dari orang lain. Hal ini dapat dijadikan salah satu referensi penulis dalam mengemas tulisannya akan seperti apa.

SAYA rasa motivasi, petuah, dan metode yang beliau jabarkan dengan istilah silaturahmi ini mengena dalam hati saya. Saya yang semula enggan berpartisipasi dalam kegiatan belajar menulis dan membuat buku menjadi tertarik untuk ikut serta. Tidak ada kekhawatiran akan usia yang telah senja. Hal yang saya khawatirkan adalah saya tidak dapat mencipta karya apapun selagi saya mampu. Benar kata Bu Kanjeng, belajar itu hingga akhir hayat. Sementara berkarya itu selagi bisa. Maka, tidakkah sia-sia ilmu yang didapat apabila tidak kita ciptakan jadi suatu karya yang bermanfaat seperti tulisan. Untuk itu, tetap menulis dan menjadi manusia yang bermanfaat!

“Penulis itu mesti bak ilmu padi, kian berisi kian runduk. Selalu merendahkan diri (tidak sombong) atas pencapaian yang didapat. Alih-alih menyombongkan diri, penulis mesti memperkaya diri dengan ilmu lain yang ia baca.”

 

Salam literasi.

 

Tidak ada komentar:

BAHAN AJAR DAN LKPD

NORMA-NORMA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT Kebutuhan antara satu manusia dengan manusia lainnya tidak selalu sama dan terus berubah. Dengan bany...